Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Seoul mencatat ada sebanyak 38 ribu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea Selatan (Korsel). Tahun ini, Pemerintah Korsel menyediakan lagi kuota 5.200 bagi TKI untuk bekerja di negara mereka.
Menurut Koordinator Fungsi Konsuler KBRI Seoul, Aji Surya, TKI di Korsel adalah TKI yang paling mujur di dunia. Selain diatur melalui kebijakan Government to Government (G to G) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Korea Selatan, hak dan kewajiban TKI disana disamakan dengan penduduk lokal. Tidak ada TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mayoritas bekerja di sektor manufaktur.
Gaji dasar TKI di Korsel mencapai 1,35 juta won atau kisaran Rp 14 juta per bulan. Disediakan tempat tinggal, plus makan dua kali dalam sehari. Selain itu juga terdapat asuransi yang memadai. Jika para TKI rajin lembur, apalagi di hari libur, maka gaji Rp 25-30 juta per bulan bukan hal yang mustahil.
“Dalam survey yang kami lakukan pertengahan tahun lalu, rata-rata TKI di Korea Selatan berpotensi menabung hingga Rp 15 juta per bulan. Di atas kertas, jika mereka bekerja disana seperti dalam kontrak, umumnya 4 tahun 10 bulan, maka tabungannya akan mencapai Rp 870 juta. Komunitas TKI muslim disana bahkan mampu membeli dan mewakafkan 5 masjid dengan nilai Rp 40 miliar,” ujar Aji saat diskusi penyiapan TKI ke Korsel di kantor Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Jateng di Semarang, Rabu (29/3).
Namun sayang, lanjut dia, sebagian besar gaya hidup TKI di negeri ginseng, boros. Mereka membeli mobil, dan banyak menghabiskan uang untuk karaoke. Mereka terlalu nyaman dan sering lupa melakukan perencanaan bagi masa depan. Akibatnya, saat pulang mereka hanya mampu membawa uang sekitar Rp 200 juta atau bahkan kurang.
KBRI di Seoul belum pernah mendapat informasi ada TKI Korsel mampu membawa pulang uang hingga Rp 700 juta. Yang menyedihkan, bagi mereka yang takut pulang, akhirnya lebih suka menjadioverstayer. Mereka menjadi TKI ilegal.
“Saat ini, jumlah TKI ilegal itu kami perkirakan mencapai 5.500 orang. Konsekuensinya, mereka bekerja secara ilegal, tanpa perlindungan asuransi. Ketika sakit, akan kesulitan pendanaan dan bila tertangkap harus mengalami deportasi,” tambah Aji.
Penyadaran Publik
Ia menegaskan, untuk mengatasi masalahoverstayer tersebut, maka diperlukan public awareness campaign, atau penyadaran publik. TKI diingatkan memiliki planning yang jelas, menabung yang cukup, memahami dan meresapi semangat kerja keras di Korsel dan siap berwirausaha di tanah air.
Pemberdayaan kepada TKI yang nyaris selesai kontrak juga perlu terus digalakkkan. “Yang tak kalah penting, untuk calon TKI juga menyiapkan kemampuan conversation Bahasa Korea dengan baik untuk menunjang komunikasi saat kerja disana. Apalagi budaya kerja disana dituntut untuk kerja keras, cepat dan inovatif,” imbuh Aji.
Wawan Budiarto, salah satu TKI asal Wonosobo, yang masih aktif bekerja di salah satu pabrik peleburan besi di Korsel membenarkan hal tersebut. Jika tidak memiliki kemampuan conversation Bahasa Korea yang baik, menurut dia, akan menghadapi kesulitan, terutama saat bekerja. “Karena banyak atasan dan rekan kerja kita yang orang sana,” tegas dia.
Kepala BP3TKI Jateng, Suparjo menyatakan, pihaknya rutin menggelar pelatihan bagi TKI, baik pelatihan skill maupun bahasa sebelum berangkat ke negara tujuan. Pihaknya juga mendorong Lembaga Pendidikan Ketrampilan (LPK) yang menyelenggarakan pelatihan Bahasa Korea untuk memberikan pelatihan dengan baik.
“Minat TKI di Indonesia untuk bekerja ke Korea Selatan, sejauh ini paling banyak dari Jawa Tengah. Tahun 2017 ini saja, ada 14 ribu tenaga kerja asal Jateng yang mendaftarkan diri menjadi TKI disana. Mereka berasal dari Kendal, Demak, Purwodadi, Pati, Cilacap, Purwokerto, Banjarnegara, Wonosobo, Brebes dan Tegal,” tandas Suparjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar